etnic
Khasanah Nusantara tercinta diantartanya kekayaan alam dan kebudayaan yang di ikat dengan menyatunya masyarakat yang majemuk. Negeri maritim dengan ribuan kepulauan menambah harum jamrud khatulistiwanya. Perairan yang menjorok ke daratan menghadirkan berkah.
Bagi warga pesisir, di Desa Teluk Santong yang terletak di kepulauan Nusa Tenggara Barat, dua hal di atas menghadirkan cerita sendiri. Selain barada di daerah pesisir teluk pulau “Sabalong Samalewa” Sumbawa. Tambang PT. NTT (Newmounth Nusa Tenggara) penghasil uranium, batu hijau dan emas ini layak diperhitungkan sebagai kekayaan alam yang luar biasa, Desa ini juga sebagai tempat produsen ikan yang melimpah.
Walaupun Desa yang di kelilingi gunung dan bukit ini memiliki jumlah kepala keluarga terhitung empat ratusan, tapi desa ini diisi oleh masyarakat dari berbagai macam suku bangsa yang tersebar di Nusantara.
Di wilayah seluas 1.700 x 1000 m2 ini, bersatu; suku-suku asli Samawa Sumbawa, satu rumpun dari daerah Bima yang disebut suku Mbojo, ada pula Suku Bajo terkenal nomaden yang menetap disana, suku Selayar yang minoritas, banyak suku dari Sulawesi seperti Minahasa, Suku Sanger, Suku Bone, Suku Tator, paling banyak adalah Suku Bugis, ada satu-dua dari Suku Tolaki dan Suku Muna. Tidak ketinggalan Suku Sasak dari pulau tetangga Lombok, ada juga orang-orang beragama hindu dari pulau Bali sebagai pedagang buah, pendatang dari Jawa yang mengadu nasib sebagai pedagang sayur atau bakso, Bangsa Tiong Hwa menetap sebagai pedagang dan pengusaha tambak udang. Ada juga warga berkulit hitam dari Papua. Bahasa yang digunakan bilingual tapi lebih dominan menggunakan bahasa Samawa dan bahasa Bugis selain bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Semuanya hidup rukun dan damai dengan kearifan tradisi masing-masing. Tidak pernah ada perkelahian dan perpecahan. Walau beragama; Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu. semua saling menghormati dan bertoleransi melebur menjadi masyarakat yang cinta damai.
Hampir seratus persen penduduk Desa Teluk Santong, hidup dari hasil laut. Sisanya dari beternak sapi, kerbau, kambing dan yang cukup terkenal dengan kuda Sumbawanya. Juga dari kegiatan bertani jagung dan padi menjadi primadona jika air laut kadang tidak bersahabat, atau ketika terang bulan.
Ketika terang bulan, air laut menjadi surut dan ikan cukup sulit untuk dijaring. Tapi dengan momen itu banyak warga yang turun ke laut dangkal dengan telanjang kaki, bermodal lampu petromaks untuk mencari bukang/kepiting, rajungan dan tripang. Komoditi tripang dan rajungan tidak hanya dagingnya akan tetapi nilai jual cangkangnya cukup tinggi untuk bahan kosmetik.
Ketika angin barat berhembus kencang awal-awal bulan Oktober menjadi pesta para nelayan di tengah lautan, pasalnya koloni ubur-ubur bergerombol untuk mencari daerah berombak relatif kecil, yaitu di daerah teluk. Nelayan hanya bermodal perahu dan jaring kecil saja, dan penghasilan dari menangkap ubur-ubur ini selain mudah juga harganya sangat mahal. Rp.150.000,- per basket (per-tiga puluh kilo). Para pengumpul berkebangsaan Tiong Hwa memborong semua hasil tangkapan ubur-ubur selanjutnya di ekspor ke Cina sebagai bahan obat.
Krisis global 3F (food, fuel, financial), tingginya harga BBM terutama solar, dan tidak sesuainya harga minyak dipasaran dirasakan oleh semua nelayan, ada yang kehilangan mata pencahariaanya. Tapi hal itu tidak menyurutkan tekad para nelayan untuk meraup rezeki di laut demi kebutuhan keluarga tercinta.
Banyak cara diusahakan menangkap ikan. Rata-rata sampan nelayan bermesin 30 PK dan berdiameter 8x3 meter. Setelah menebar jaring, biasanya nelayan sambil melepas kail pancingan tanpa tuas, cara ini sering strike ikan-ikan besar seperti Jangan (ikan) bou, pakek/hiu, pari, sidar/marlin dsb.
Dikenal metode ocor atau dengan jaring spanjang seratus meter, bagang mencapai panjang satu kilo, menjaring ikan sambil menjalankan sampan di sebut dendreng, pancing naber ini biasanya menggunakan mata pancingan seratus lebih. Ada juga yang kuat dan berani menyelam hingga beberapa meter ke dalam dan menembak ikan besar dengan panah. Suku Bajo ahli menangkap ikan permukaan dengan tombak, metode ini disebut pokeq.
Sekitar abad ke-16 pedagang dari Cina menjadikan desa ini tempat berlabuh, terbukti dengan di temukannya barang-barang peninggalan dinasti Cina berupa guci keramik, mangkuk dsb. Benda-benda sejarah itu kini dilindungi dan dikuasai pemerintah.
Pendatang dari luar daerah dan luar pulau yang sengaja datang ke Teluk Santong untuk memuskan hoby memancing mereka. Daerah teluk santong sudah dikenal para pemancing yang telah memberikan kepuasan oleh tangkapan-tangkapan ikan yang besar dan banyak.
Tidak jauh dari bibir pantai banyak keramba-keramba, ditanam rumput laut. Tidak sulit, hanya dengan memberi tali di tonda/pelampung dan mengikatkan batang rumput laut. panen biasanya dilakukan satu bulan sekali, hasilnya juga menggiurkan.
Sepanjang garis pantai, hutan mangrove terlihat sangat rimbun. Selain mencegah abrasi, hutan mangrove yang sengaja di tanam atas kesadaran warga akan pentingnya bakau juga dapat sebagai tempat hidup dan bekembang biaknya biota laut. Juga tempat bersarangnya spesies burung yang langka seperti punglor, jalak, perkutut hingga elang.
Daerah pesisir yang berpasir juga sebagian digunakan pengusaha Tiong Hwa maupun warga lainnya untuk membuat tambak udang berjenis super, hasil udang ini cukup memenuhi pasar Nusa Tenggara Barat bahkan hingga ke pulau Bali.
Kegiatan lain yang menarik adalah berburu aiq aning (madu lebah) juga menjadi penghasilan mingguan, berburu madu lebah tergolong cukup sulit, mendaki dan menyisir setiap gunung untuk mendapatkannya. Tanpa keahlian dan keberanian sulit berhasil mendapatkan madu, justru akan beresiko tersengat ribuan lebah, nyawa pun melayang. Banyak ditemukan ular berbisa yang mengancam nyawa pemburu. Tapi hasilnya merek madu Sumbawa sudah menembus pasar internasional hingga ke Brunei Darussalam, Singapura, dan Malaysia.
Rumah-rumah warga hampir semua berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu. Jarang di temukan rumah dari besi atau campuran semen, karena akan cepat lapuk dan berkarat dimakan air laut. Jika air pasang akan mencapai ketinggian dua meter dari tanah tempat berdirinya pondasi kayu.
Sangat jarang sekali prosesi pernikahan di jumpai, terhitung satu tahun paling sering ada dua pasangan yang melangsungkan pernikahan. Selain menelan biaya yang tidak sedikit juga karena tradisi Sumbawa yang dikenal “menikah satu kali sampai mati.” Rasa solidaritas yang tinggi, warga pun berduyun-duyun datang tanpa diundang untuk membantu, mulai dari mencari kayu di hutan sampai menyebrang ke pulau-pulau kecil. Ada yang menyumbangkan ternak kambing, hasil tangkapan ikan, hingga induk kerbau yang sangat besar sebagai santapan tetamu desa dan dari desa lain.
Angin semilir berhembus segar mendamaikan jiwa. Saat libur sekolah di hari minggu yang cerah, di pagi hari tersenyum diufuk timur semburat cahaya matahari pagi yang indah menguning. Anak-anak keturunan, dari berbagai macam etnik memadati dermaga. Bermain bersama teman sebayanya tanpa rasa berbeda; memancing ikan, setelah puas memancing semuanya terjun dari dermaga, mandi di laut. Keceriaan anak multi entik ini terbias dari kulitnya yang hitam, gigi putih dan tawa mereka yang akrab dengan panas suasana pesisir pantai, di perairan yang menjorok ke daratan, menjadi kekayaan bumi pertiwi tercinta.
Referensi untuk anda yang gemar memancing dan melancong, menyaksikan rasa Bhineka Tunggal Ika yang erat, ingin lebih dekat dengan alam. Datang saja ke Desa Teluk Santong
Label: edit post
0 Responses