etnic

Fans : duuh cipte... fotoan sama siapa sih?
Cipt : oh, ini? ini sama mbak Afifah Afra dan jawa tengah. beliau penulis kenamaan.
Fans : oh gitu ya cakep?
Cipt : ya iyalah, masa ya dong....
Fans : ada acara apa sih kok bisa fotoan sama orang beken gitu?
Cipt : oh, kemaren tanggal 22 maret 2009 ada peluncuran&bedah buku kumcer sekaligus ada
sayembara cerpen se-jatim, nah kebetulan aku panitia sekaligus peserta sekaligus runner up.
Fans : hebat dong...?
Cipt : hebat dari hongkong. apalah arti penghargaan dari manusia. (sok kalem lu)
etnic
Hitam, putih. Kejahatan dan kebaikan akan selalu berdampingan. Mereka ibarat mantram-mantram veda dengan sang aku sejati yang murung dan malas. Mantraman itu adalah nyanyian pujaan yang ditujukan kepada para Dewa agar menganugrahkan kerahayuan hidup di dunia.
Lalu, apa makna warna abu-abu di kain-kain poléng kami? Aku tidak tahu. Aku melempar kembali kain itu ke dalam lemari. Aku terlalu sibuk bergaul dengan makhluk-makhluk sebangsa edius, keluarga adobe dan FL studio, menekan tuts mouse hingga rusak karena kebencianku akan kematian mereka. Menembak habis kepala para teroris dengan senjata AK47. Mengurung diri di kamar, setiap hari sepanjang tahun ini. Hah, hidupku membosankan.
Atau bisa saja dengan mudah beralasan pada Mémé (Ibu) dan Aji’ (Bapak), pekerjaanku sebagai editor memang seperti ini. Aku menemukan semadi yang kirab dengan caraku sendiri. Toh benda ini dapat memberi kesenangan dalam hatiku. Tapi kenapa hanya sesaat saja kurasa?
‘dar-dar-dar…’ suara pintu kamarku. “Bli… Bli Budi!? ayo sembahyang! pantai Tanah Lot akan sangat ramai sekarang. Pure jam segini sudah padat sekali. Cepat Bli, ayo!” teriak seseorang dari balik pintu kamarku. Heh, seperti biasa Bli Jaye butuh tumpangan.
“Tidak! Aku banyak pekerjaan, Bli pergi saja dengan motorku,” jawabku singkat sembari kubuka pintu kamar. Bli Jaye menatapku lekat.
“Ada yang tidak beres dengan dirimu, Bli. Wajahmu kusam sekali. Cobalah cari udara segar keluar atau bergaul dengan teman-teman, surfing, snorkling, dugem ke Paddys. Atau apa saja, asal tidak di dalam kamar terus…” kata Bli Jaye. Alis tipisnya dimainkan sedemikian rupa untuk menyindirku.
Kadang alasan pekerjaan adalah senjata ampuh. Untuk menipu Mémé dan Aji’ agar tidak terus memintaku sembahyang pada tilem kesanga nanti. Upacara pesucian Dewa-Dewa yang bertahta di pusat samudera sana. Selanjutnya Dewa akan membawa tirtha amertha kamandalu, inti sarining air kehidupan untuk kesejahtraan yang kami ambil dari percikan-percikan air suci dari tangan pdande1.
Senjata murahan itu kadang tidak berfungsi dengan baik, hingga aku berat hati mengenakan satu persatu pakaian safari dan kain poléngku, lalu dengan perasaan malas melangkahkan kaki ke tanah-tanah pure pesembahyangan.
Setelah aku telusuri ingatan, aku tidak pernah aktif dalam kegiatan di bale banjar2, ramah-tamah dengan siapapun, tetangga, lebih-lebih kerabat jauh. Sejenak kuperhatikan masa laluku, ada beberapa catatan kecil yang teramat kelam. Sejak peristiwa kehancuran itu, aku tidak percaya lagi dengan anti kemapanan dan sahabat sejati.
Jujur saja, aku lebih suka tenggelam di lautan website, di depan monitor ajaib yang dapat menunjukkan apapun yang aku perintahkan. Menjelajahi dunia maya, atau seharian bermain counter strike. Game kesukaanku. Berbeda jika Hari Raya Nyepi tiba, sebentar lagi.
Hari dimana aku harus berpuasa, tidak bekerja, tidak bepergian kemana-mana, tidak mendengarkan hiburan. Lebih-lebih amati geni, tidak menghidupkan api atau listrik. Maka komputerku akan menjadi bangkai untuk beberapa hari. Aku pun kembali menjadi makhluk religius dana paramita; suka beramal, dharma, dan kebajikan. Tantangan berat bagi seorang introvert sepertiku yang hanya bersahabat dengan kesendirian adalah jauh dari teknologi.
“Budi…? Nak? Aji’ sama Mémé berangkat duluan ke pure,” kata Aji’ pelan dari balik pintu. Dari remang suaranya, ada kelembutan seorang pecalang3 sejati menelusup hatiku, aku merasa bersalah. Aji terang meminta kehadiranku di tempat itu. Entahlah? kenapa jiwaku yang sedari dulu gamang, menguasai kehendak sanubariku untuk mendekat pada Sang Hyang Widhy.
Aji’ terkenal tegas dan begitu dihormati, bukan saja karena silsilah keluarga kami dari kasta brahmana4, Aji’ juga adalah seorang pacalang jagawana yang diberi kehormatan menjaga ketertiban aktivitas manusia.
Aji’ akan dengan senang hati memberi makan anjingku yang setiap pagi mendengking-dengking kelaparan. Tuannya terlalu sibuk dengan komputer. Paice, begitu kuberi nama anjing Desa Kintamani yang tak sengaja aku temukan bulan lalu. Sebenarnya bukan aku yang menemukannya, tapi laki-laki berwajah teduh di depan rumahku. Ia telah berbaik hati mengangkat Paice yang terjebak di selokan.
Laki-laki itu selalu mendulum senyum akrab padaku walau aku mendadak autis5, pura-pura tidak tahu keberadaanya. Saat menemukan anak anjing itu adalah awal perkenalan kami.
“Joger ya? Saya suka bajumu, merek internasional kan, bli? Kude?” sapanya ramah. Kalimat perdananya membuatku seakan mengenalnya sejak dulu. Mimik wajahnya pas dengan rona senyumnya, sampai-sampai gigi taringnya yang agak panjang terlihat dengan jelas. Mungkin belum di kikir. Batinku.
“Perkenalkan, nama saya Muhammad. Panggil saja Mamad.” Kuat ia jabat tanganku, mantap. Terasa getar energi ketulusan yang merambah dari tangannya.
“Glek!” laringku tercekat, mataku melotot tak jadi berkedip, aku tidak percaya dengan pendengaranku atas namanya. Ku bekukan senyum, coba mengeluarkan suara untuk menghentikan jabat hangat tangan dan tatapan sendu matanya, “ee… Budi!”
Mungkin tidak membutuhkan waktu lama untuk membenci seseorang. Aku tidak berniat tahu lebih jauh orang ini. Ia bukan asli Bali. Relung jiwaku masih terasa miris akan tragedi beberapa waktu lalu. Walaupun eksekusi mati sudah dilakukan bagi pelaku pengeboman. Lukaku belum pula mengering hingga saat ini.
Jujur aku tidak menyukainya. Ingin rasanya kujadikan ia sesajen untuk tumbal keangkuhan yang telah lama kerak, entahlah. Aku tidak percaya kali ini aku berani berdoa; perbaiki aku Tuhan!
Tiba di sebuah malam paling membosankan. Sudah larut malam. Aku mencoba memejamkan mata, pegal-pegal dan rasa ngantuk mulai menguasai tubuhku karena seharian menekuri layar monitor. Aku merasakan dinginnya angin bulan Desember menusuk hingga ke tulang. Aku rapatkan lagi jendela kamar yang berhadapan dengan kamar kos Mamad diseberang gang. Lampu kamarnya redup, tapi…
“Astaga…apa itu!?” aku terkejut setengah mati. Ada kilatan cahaya yang sangat terang menerobos keluar-masuk kamar Muslim itu.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali hingga cahaya itu redup. Aku memang pernah kerauhan5 tempo hari, tapi hal ini kegaibannya nyata. Dadaku berdebar kencang, jangan tanya rasa kantukku yang musnah. Aku mantapkan hati, harus cari tahu. Sebelum keluar rumah, sempat kuraih kupluk untuk tudung kepala.
Kakiku kesemutan, aku paksa saja berjinjit seperti maling, mengendap-endap karena tidak mau membangunkan Aji’, Mémé dan warga kompleks lainnya. Dadaku benar-benar serupa deburan ombak pantai Kute yang siap menghempas para peselancar, perasaanku campur aduk.
Kegelapan berbaur dengan sunyi, lolongan Paice dan anjing liar seolah tertelan malam, bahkan jangkrik musim kawin pun terdiam karena terlindas kilatan cahaya tadi. Langkahku bertambah, rasa takutku pun semakin menjadi-jadi. Nafasku tersengal menghirup embun yang tertitip di pucuk-pucuk dedaunan. Pohon beringin besar di ujung jalan menampakkan bayangan raksasa, tinggi sekali. Ditambah bau asap dupa yang menyengat entah dari mana. Angker. Tubuhku merinding.
Aku curiga, patung ogoh-ogoh raksasa perwujudan Bhuta Kala itu akan menyergap dan memakanku hidup-hidup. Derap kakiku telah sampai di teras kos, jendela dari kayu sonokeling berukir motif Bali itu terbuka lebar. Itulah jalan masuk cahaya tadi. Aku yakin, cahaya itu akan muncul lagi saat aku mencuri pandang, seperti bom waktu yang menunggu titik ledaknya.
Rasa penasaranku begitu tangguh sampai-sampai mengalahkan takut yang di selimuti malam pekat dan dingin ini. Tanpa angin sedikitpun. Sepi. Mulai mendekat kearah jendela, ku dongakkan kepala agar mampu mataku menyaksikan kegaiban ini.
Tampak tumpukan buku, perangkat komputer. Remang cahaya lampu tidur tak dapat menerangi seluruh isi kamar sesempit ini. Tapi masih bisa jelas kulihat tempat peraduan hijau yang tak berpenghuni. Kemana si Muslim itu? dadaku masih pula berdebar. Kupegang erat jendela kamar dengan tangan basah oleh keringat dingin. Kucari di sudut kanan.
Tidak ada hal mistik, kecuali laki-laki berwajah teduh itu sedang melakukan gerakan-gerakan eksotik. Sedang apa dia? Gerakannya teratur, kini ia menyelungkurkan wajahnya di atas permadani. Lama sekali Mamad tersujud.
Perlahan ia menoleh ke arah kanan, tampak tulang pipinya yang merah dan basah oleh linangan air mata yang dipantulkan cahaya redup kamar itu. Tak pernah kulihat wajah sedamai ini sebelumnya, rupawan wajahnya seperti bersatu padu dengan sari pati kedamaian. Tapi pucat pasi, kubaca sebuah ketakutan yang maha dahsyat disana.
Lalu ia menengadahkan kedua tangannya, sepertinya ia sedang berdoa sepenuh hati, aku terpaku. Warna aura tubuhnya mengepul, cakra-cakra ruhnya dengan zat Tuhan telah terbuka, tidak ada hijab. Ruh itu terbang secepat kilat keperaduan kekasihnya dan menyatu hanya dengan gerakan eksotis tadi.
“Astaga…ini dia…Cahaya itu?”
“Maliiing…maliiing…!!!” teriak seseorang dari belakang. Aku tersentak kaget, celingukan ditempat. Cepat aku balikkan badan. Ada seseorang berwajah gelap membawa pentungan seukuran kepalan tangan, dilayangkan kearahku.
‘Taaaak….nggiiiinggg…’ dengung keras merangsek gendang telingaku, dunia berputar, kepalaku berat. Tubuhku lalu terkulai di bawah jendela sonokeling itu. Samar bunyi kul-kul mulai menghilang, malam pekat itu semakin pekat dan gelap gulita.
***
Sebuah hari yang baru dan benar-benar berbeda. Sudah hari ketiga Mamad datang ke kamarku, membawa buah paforitku, mmm… salak Bali. Ia membesukku, membenarkan letak bantal dan selimutku, meng-install anti virus ke komputer kesayanganku, mengerjakan pekerjaan videography-ku. Padahal tengkuk leherku sudah tidak sakit lagi, ia begitu perhatian padaku.
Sedangkan Bli Darya, pecalang desa yang bertugas mengamankan desa tak tampak batang hidungnya setelah memukul tengkukku malam itu. Bisa sampai mati, kalau saja Mamad tidak menahan laju Bli Darya yang menyangka aku maling, mungkin aku sudah menjadi abu, terombang-ambing di lepas pantai Kute menjadi pasir, setelah dikremasi dalam tungku pembakaran. Selanjutnya upacara ngaben6 hingga tujuh hari tujuh malam, melagukan tabuhan mistik gamelan untuk mengiring kepergianku.
Butuh berapa lama untuk menyukai seseorang? waktu itu tidak pernah ada batasan. Aku dan laki-laki santun ini mulai akrab, bertukar pikiran tentang banyak hal. Memahaminya. Tertawa-tawa. Pernah sekali bertualang ke pulau Menjangan, mengambil video anak-anak burung Albatros yang dimakan tikus raksasa. Menyenangkan bersamanya.
Aku pahami ketegasan dan kelembutannya yang terkadang muncul. Aku memiliki teman yang dapat dengan mudah aku maafkan atas kesalahan yang tidak pernah dilakukannya.
Aku mulai tahu makna jihad yang jadi sesumbar orang yang salah kaprah. Yoga juga hasil jihad, mengendalikan diri, perang hawa nafsu duniawi juga jihad. Aku bertanya tentang rahasia kilatan cahaya malam itu. Bibir yang ditopang janggut tipis itu hanya tersenyum lebar. Ia tidak banyak tahu, hanya menjelaskan bagaimana setiap saat ia menjaga kebersihan diri.
Pagi ini aku masih di kamar kosnya, ah terpuji sekali akhlaknya. Semut-semut yang mengerubungi tempat tidurnya, disapunya keluar dengan hati-hati, ia pastikan tak seekor pun tersakiti, apalagi sampai mati.
Lebih lanjut aku tahu bahwa ia selalu menjaga wudhu’nya. Ketenangan yang terpancar dari wajahnya ternyata adalah karena air yang dapat disucikan setiap saat. Ia menjelaskan apa itu wudhu’ zahir dan wudhu’ bathin.
Dimana ia membasuh tubuhnya tidak hanya dengan air suci itu, juga dengan; taubat, tidak tergila-gilakan dunia, pujian, meninggalkan kesombongan sekecil apapun, tidak bersifat khianat, berdusta dan meninggalkan sifat dengki. Aku membulatkan mulut, takjub. Tak malas Mamad menjelaskan lagi.
“Aku bayangkan Allah ada di hadapanku, syurga di sebelah kananku, neraka di sebelah kiriku, malaikat maut berada di belakangku, dan aku bayangkan pula bahawa aku berdiri di atas titian sirat. Dan aku anggap saat itu adalah sholat terakhirku, lalu berniat dan bertakbir dengan baik. Setiap bacaan dan doa dalam sholat kufahami maknanya, kemudian aku ruku' dan sujud dengan tawadhu', aku bertasyahhud dengan penuh pengharapan dan aku memberi salam dengan ikhlas.” Sungguh aku takjub dengan penjelasannya, masuk akal. Aku makin penasaran, bertanya lebih jauh tentang sujud.
“Sujud adalah kebutuhan, meditasi puncak tertinggi, mi’raj-nya seorang hamba untuk bertemu dengan Tuhan. Nikmat yang tiada tara.” Jelasnya lagi.
Sedetik dirumahku, Mamad berdiri, baju koko hijau kebesarannya terlihat anggun menempel di badan segarnya. Ia permisi untuk mengerjakan shalat dhuha. Bangga ia menunjukkan identitas sejatinya, bahkan pada Aji’ dan Mémé, tidak ada suasana risih dengannya.
Aji’ dan Mémé menyukainya. Mereka mafhum betul, videography adalah salah satu pengikat persahabatan kami. Aku memujinya, ia membantuku bekerja, memberiku pelajaran-pelajaran editing, kami makan bersama di depot paforitnya, terkadang pergi berselancar di hari minggu.
Lucunya, Mamad selalu dengan pakaian tertutup ketika berselancar. Dengan cepat ombak menghempas dan menelannya. Ia malu kelihatan secuil saja betisnya, walau itu terhadapku, sesama lelaki.
Sembari menggosok giginya dengan sewak, ia berceloteh ‘bagiku agamaku, bagimu agamamu…’ prinsip inilah yang mengokohkan rasa solidaritas kami. Mamad sangat tegas dan memegang teguh agamanya. Ia sholat lima waktu, puasa Senin Kamis, membayar zakat, rajin membaca Al-Quran dan kitab. Berbeda dengan aku, malas sembahyang ke pure. Padahal dua hari lagi adalah saat-saat ngembak geni.
Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih. Jadi kalau tahun Masehi berakhir tiap tanggal tiga puluh satu Desember dan tahun barunya dimulai satu Januari, maka tahun Saka berakhir pada panglong ping limolas (tanggal lima belas) sasih kedasa (bulan sepuluh).
Ngembak geni adalah akhir dari perayaan Hari Raya Nyepi. Pada hari inilah tahun baru Saka tersebut dimulai. Umat hindu bersilaturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, kesama atau saling maaf memaafkan satu sama lain.
Keesokan harinya, aku dan Mamad cukup penat dengan keramaian, setelah mengambil beberapa view di pawai ogoh-ogoh7. Akhirnya iblis raksasa itu dibakar habis sudah, menjadi abu.
Diskusi kami berlanjut di atas perjalanan perahu sore ke Tanjung Benoa. Menurut Mamad, perhitungan tahun Hijriah berakhir pada tiga puluh Dzulhijjah, jadi ummat Muslim bertahun baru pada satu Muharram. Ia menjabat tanganku, tahun baru Masehi ini kami sepakat berdoa pada Tuhan agar menyucikan bhuwana agung. Agar tidak ada lagi kerusakan dan pertumpahan darah.
Di atas perahu yang melaju pelan, aku terkesima melihat sahabatku ini. Dalam sujud sholat ashar yang khusu’ di ombang-ambing ombak sore. Mamad menginspirasiku untuk mencari kebenaran, menggali agamaku sendiri. Membangun sosialku dengan empat puluh rumah ke segala penjuru. Bagaimana mungkin seseorang melupakan lingkungan dan Tuhan-nya, sementara mereka tidak akan bisa hidup tanpa yang lainnya?
Aku tersenyum sendiri, memikirkan sebuah nama untuknya ‘Kalky Kala Patra’. Ya, Kalky berarti ‘terpuji’. Sedang ‘Kala Patra’ berarti...

ups kepotong... katanya mau di terbitkan di majalah girliezone...? bener ga ya...?


~Uwud~
etnic

Huru-Hara di Hari Haru

Maha Guru Sejatiku…
ketika ketertindasan ini telah membuat kami mengigau
panjang lebar tentang syurga tak bermajikan
ketika segala hipotesa dan teory
telah membuat kami orgasme dalam
romantisme pergantian tahun ini
kamipun tak menyadari
kedatangan duta-duta masa lalu itu
di hadapan tipu muslihat palsu kami
mereka melolos mata pedang kebenaran
yang tajam dari warangka sejarah
kami ketakutan dan melarikan diri
maha guru sejatiku
kami telah adu domba firman Mu
dengan sajak-sajak materialisme
aku sangka engkau murka
tapi…Engkau malah menganugrahiku kesunyian
dan judul dari bait puisi ini…
etnic



Malang, 30 November 2008


Kasyaf, di Teluk Titipan


Saat ini, aku tidak hanya berdua dengan Inaq. Banyak pula yang mengiringi kepulanganku, seperti ketika aku datang. Para simpatisan, dari LSM maupun dari Departemen Agama. Perjalanan pulangku ini eksklusif, dikawal tujuh ikhwan berjanggut tebal, laskar jihad yang siap mati konyol setiap saat demi apa saja. Kami diperlakukan seperti Al Capone saat dipindahkan ke penjara Alcatraz. Aku dianggapnya bom waktu yang setiap saat akan meledak. Aku bersumpah, kami bukan pembunuh berdarah dingin. Kami hanya keluarga dari Bapakku. Aku tegaskan lagi, aku anak dari seorang pahlawan. Mulai dari Lapas Nusa Kambangan kecurigaan terus menyoroti setiap depa langkahku ketika mengiring sesosok jenazah. Persoalan ini membuat kepala kami serasa tertindih berton-ton batu. Aku berharap ini mimpi, tak pernah terjadi. Di setiap pelabuhan penyebrangan, para wartawan menunggu kami, mengambil gambar dan bertanya macam-macam. Sepatah kata kami tidak berbicara. Seperti selebriti saja mereka memperlakukan kami. Kami jadi makanan empuk. Yang tidak tahu etika, mereka seperti leak1 saja yang memakanan darah dan daging manusia. Mereka kanibal, mengumbar aib saudaranya. Mereka akan datang! Sungguh, mereka telah datang! Bukan, bukan, bukan! Mereka menunggu kami. Kamilah yang datang pada mereka. Kehadiran kami bersama sesosok mayat ini, menyulut sisa-sisa dendam yang tak kunjung mereda. Aku dan inaq memilih di dalam bus bersama ikhwan simpatisan daripada di dalam mobil jenazah. Aku tangkap gundah di wajah murung para mujahid ini. Lama sekali bus kami menunggu kapal-kapal bongkar muat bergantian. Aku harap perjalanan ini tidak pernah berakhir, sekalipun akan sampai ke baithi jannati kami di Lombok Tengah. Aura mistis pulau dewata terasa mendidih, gunung Batur tak lagi bersahabat. Di Gilimanuk beberapa orang berbondong-bondong mendatangi kami. Merekalah yang kami maksud. Bukan untuk berbela sungkawa. Tapi, untuk sekedar melampiaskan kepedihan hati mereka yang egois. Mungkin atas kematian istri, kematian anak atau sanak saudaranya. Meraka mencari sesajen berupa kambing hitam untuk tumbal kemarahan, pembalasan dendam. Anak dan istri pelaku pembomanlah orangnya. Aku dan Inaq. Bus kami berhenti. lebih tepatnya diberhentikan. Aku terkesiap, menatap wajah teduh Inaq yang membenarkan posisi jilbabnya, Ia terlihat gusar. Gerombolan itu menggerayangi bus kami. Ricuh. Mereka tidak tahu. Hatiku juga hancur dalam kesedihan, belum puaskah mereka? Bukankah Bapakku sudah dihukum mati? Sungguh, aku tidak mencari-cari pembenaran. Semua itu akibat penyakit kasyaf2 yang diderita Bapak. Bapak bukanlah Imam Abu Hanifah yang tahan dengan wabah mujahid ini. Salahkan itu, Bli! Para ahli tasawuf sering menerimanya sebagai hasil mujahadah. Sebagian orang mengatakan kasyaf itu sebagai penyakit. Aku menganggapnya begitu. Aku tahu betul tragedi Gereja-gereja di Mataram karena benda pemusnah itu. Dosa-dosa yang tampak nyata melatar belakangi tindakan anarkis Bapak dan laskar jihad jaringannya. Aku pernah melihatnya. Seukuran telpon saja. Aku tahu itu bom. Aku menggenggam erat tangan Inaq. Kerutan di wajah Inaq tampak jelas setelah kehilangan itu. Aku mencoba sebisaku untuk terlihat tegar seperti beliau. Bathin kami lelah. Ada pesan tertulis, kami mendapat peringatan dari pihak Syahbandar Gilimanuk. Banyak wartawan disana-sini. Ratusan orang yang tidak jelas meramaikan pemandangan di luar sana.Teli…! Cicing…! Naskleng…! mati kau…! anak pembunuh…! ku bunuh kau…!” seribu sumpah serapah mereka memekakkan gendang telinga. Aku melihat kemarahan yang memuncak di wajah Bli Wayan dan kroninya. Bus memasuki kapal Ferry, ternyata mereka sudah disana. Tanpa debat. Tinjunya sukses dengan keras menghujam wajahku. Aku pusing sekali. Aku pasrah melihat tetes demi tetes darahku. Suasana bertambah gaduh. Inaq panik lalu sontak beristigfar dengan suara parau, Ia bershalawat berulang-ulang. Beberapa pengawal ikhwan mencoba melerai, tapi para holigan itu terlalu banyak. Aku beringsut mendekap Inaq, berteriak-teriak meminta perlindungan. Untung saja ada beberapa Polisi pelabuhan dan para pecalang3. Kalau tidak, aku tidak tahu. Aku menghawatirkan perempuan tua yang melahirkan aku ini saja.Baru di dalam bus Inaq bisa menyeka darahku. Aman sudah. Kami kembali beristirahat. Menuju Pelabuhan Padang Bay berikutnya. Aku tertidur di pangkuan Inaq. Bus melaju pelan, aku sempat memperhatikan peluh Inaq meresap di jilbab hijau tosca pemberian Bapak saat aku lulus Aliyah setahun lalu. Inaq tertidur. Pelan aku buka tabir bus mencari cahaya siang. Aku buka lipatan secarik kertas di dalam kantong celana bolongku. Aku membacanya perlahan. Parte bin Kalid YTH. Terune Gagahku. esatriaku. Kita memang belum sempat bertemu. Setahun ini. Bapak tersiksa karena jauh darimu, nak. Tapi, jangan sedih, jangan menangis. Kuatkan dirimu. Wasiat Bapak: Tegakkan syahadatmu, Islam sudah terlihat aneh kembali oleh dosa-dosa manusia. Kubur jasad pinjaman Bapak ini dengan layak…lanjutkan tugas kekhalifahan. Jalani perkara-perkara abadi: berilmu, beramal dan sebagai anak sholeh. Untuk Bapak.


Kuat aku membendung desiran air di dalam mataku agar tidak meleleh. Mataku mulai berkaca-kaca. Tiba-tiba telapak tangan kasar dan kukenal menyentuh pundakku. Aku tersadar dari bayang-bayang Bapak.


“Ate, sudahlah nak, jadikan sabar dan shalat sebagai penolongmu. Hidup di dunia ibarat kapal yang sekedar singgah di sebuah pulau untuk mencari bekal. Lalu akan berlayar kembali ke negeri yang kekal abadi. Akhirat.” Sabda Inaq dengan linangan kering air mata. Ia kembali menikmati tangisnya dengan mata terpejam.


Kapal Ferry merapat ke Pelabuhan Lembar. Bus kembali melaju. Aku membuka tirai, ada wajah-wajah asli yang aku kenal. Aku mengerti ikhwal keramaian di tanah lapang itu. Orang-orang Suku Sasak Lombok sedang menggelar tradisi adat keras mereka. Presean.


Islam sudah melembaga disini jauh sebelum Alfred Russel Wallace4 berpendapat hukum kami tidak berprikemanusiaan. Ada kesamaan dari jejeran tiga kepulauan; Bali, Lombok dan Sumbawa. Tradisi perang seperti itu; perang tandan, presean dan karaci. Pertarungan baku hantam dengan rotan dan perisai. Pertarungan ini bersifat permainan, atau semacam pembuktikan kekuatan dan keberanian. Latihan perang untuk areal laki-laki sejati.


Jogang’. Aku teringat kisah pemuda yang dianggap gila. Setahun lalu Ia bermain presean hingga tak kenal menyerah. Tidak peduli setangguh apapun pepadu yang dihadapinya. Dia malah ingin mengukir seratus luka di tubuhnya. Seratus kali cambukan, seratus tanda sudah.


....


baca selengkapnya di FLP kumcer "aku ingin melukis wajahmu" nantikan launchingnya 22 Maret 2009 di kampus UM. beli bukunya ya?




~tutuq ulet~

etnic
Khasanah Nusantara tercinta diantartanya kekayaan alam dan kebudayaan yang di ikat dengan menyatunya masyarakat yang majemuk. Negeri maritim dengan ribuan kepulauan menambah harum jamrud khatulistiwanya. Perairan yang menjorok ke daratan menghadirkan berkah.
Bagi warga pesisir, di Desa Teluk Santong yang terletak di kepulauan Nusa Tenggara Barat, dua hal di atas menghadirkan cerita sendiri. Selain barada di daerah pesisir teluk pulau “Sabalong Samalewa” Sumbawa. Tambang PT. NTT (Newmounth Nusa Tenggara) penghasil uranium, batu hijau dan emas ini layak diperhitungkan sebagai kekayaan alam yang luar biasa, Desa ini juga sebagai tempat produsen ikan yang melimpah.
Walaupun Desa yang di kelilingi gunung dan bukit ini memiliki jumlah kepala keluarga terhitung empat ratusan, tapi desa ini diisi oleh masyarakat dari berbagai macam suku bangsa yang tersebar di Nusantara.
Di wilayah seluas 1.700 x 1000 m2 ini, bersatu; suku-suku asli Samawa Sumbawa, satu rumpun dari daerah Bima yang disebut suku Mbojo, ada pula Suku Bajo terkenal nomaden yang menetap disana, suku Selayar yang minoritas, banyak suku dari Sulawesi seperti Minahasa, Suku Sanger, Suku Bone, Suku Tator, paling banyak adalah Suku Bugis, ada satu-dua dari Suku Tolaki dan Suku Muna. Tidak ketinggalan Suku Sasak dari pulau tetangga Lombok, ada juga orang-orang beragama hindu dari pulau Bali sebagai pedagang buah, pendatang dari Jawa yang mengadu nasib sebagai pedagang sayur atau bakso, Bangsa Tiong Hwa menetap sebagai pedagang dan pengusaha tambak udang. Ada juga warga berkulit hitam dari Papua. Bahasa yang digunakan bilingual tapi lebih dominan menggunakan bahasa Samawa dan bahasa Bugis selain bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Semuanya hidup rukun dan damai dengan kearifan tradisi masing-masing. Tidak pernah ada perkelahian dan perpecahan. Walau beragama; Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu. semua saling menghormati dan bertoleransi melebur menjadi masyarakat yang cinta damai.
Hampir seratus persen penduduk Desa Teluk Santong, hidup dari hasil laut. Sisanya dari beternak sapi, kerbau, kambing dan yang cukup terkenal dengan kuda Sumbawanya. Juga dari kegiatan bertani jagung dan padi menjadi primadona jika air laut kadang tidak bersahabat, atau ketika terang bulan.
Ketika terang bulan, air laut menjadi surut dan ikan cukup sulit untuk dijaring. Tapi dengan momen itu banyak warga yang turun ke laut dangkal dengan telanjang kaki, bermodal lampu petromaks untuk mencari bukang/kepiting, rajungan dan tripang. Komoditi tripang dan rajungan tidak hanya dagingnya akan tetapi nilai jual cangkangnya cukup tinggi untuk bahan kosmetik.
Ketika angin barat berhembus kencang awal-awal bulan Oktober menjadi pesta para nelayan di tengah lautan, pasalnya koloni ubur-ubur bergerombol untuk mencari daerah berombak relatif kecil, yaitu di daerah teluk. Nelayan hanya bermodal perahu dan jaring kecil saja, dan penghasilan dari menangkap ubur-ubur ini selain mudah juga harganya sangat mahal. Rp.150.000,- per basket (per-tiga puluh kilo). Para pengumpul berkebangsaan Tiong Hwa memborong semua hasil tangkapan ubur-ubur selanjutnya di ekspor ke Cina sebagai bahan obat.
Krisis global 3F (food, fuel, financial), tingginya harga BBM terutama solar, dan tidak sesuainya harga minyak dipasaran dirasakan oleh semua nelayan, ada yang kehilangan mata pencahariaanya. Tapi hal itu tidak menyurutkan tekad para nelayan untuk meraup rezeki di laut demi kebutuhan keluarga tercinta.
Banyak cara diusahakan menangkap ikan. Rata-rata sampan nelayan bermesin 30 PK dan berdiameter 8x3 meter. Setelah menebar jaring, biasanya nelayan sambil melepas kail pancingan tanpa tuas, cara ini sering strike ikan-ikan besar seperti Jangan (ikan) bou, pakek/hiu, pari, sidar/marlin dsb.
Dikenal metode ocor atau dengan jaring spanjang seratus meter, bagang mencapai panjang satu kilo, menjaring ikan sambil menjalankan sampan di sebut dendreng, pancing naber ini biasanya menggunakan mata pancingan seratus lebih. Ada juga yang kuat dan berani menyelam hingga beberapa meter ke dalam dan menembak ikan besar dengan panah. Suku Bajo ahli menangkap ikan permukaan dengan tombak, metode ini disebut pokeq.
Sekitar abad ke-16 pedagang dari Cina menjadikan desa ini tempat berlabuh, terbukti dengan di temukannya barang-barang peninggalan dinasti Cina berupa guci keramik, mangkuk dsb. Benda-benda sejarah itu kini dilindungi dan dikuasai pemerintah.
Pendatang dari luar daerah dan luar pulau yang sengaja datang ke Teluk Santong untuk memuskan hoby memancing mereka. Daerah teluk santong sudah dikenal para pemancing yang telah memberikan kepuasan oleh tangkapan-tangkapan ikan yang besar dan banyak.
Tidak jauh dari bibir pantai banyak keramba-keramba, ditanam rumput laut. Tidak sulit, hanya dengan memberi tali di tonda/pelampung dan mengikatkan batang rumput laut. panen biasanya dilakukan satu bulan sekali, hasilnya juga menggiurkan.
Sepanjang garis pantai, hutan mangrove terlihat sangat rimbun. Selain mencegah abrasi, hutan mangrove yang sengaja di tanam atas kesadaran warga akan pentingnya bakau juga dapat sebagai tempat hidup dan bekembang biaknya biota laut. Juga tempat bersarangnya spesies burung yang langka seperti punglor, jalak, perkutut hingga elang.
Daerah pesisir yang berpasir juga sebagian digunakan pengusaha Tiong Hwa maupun warga lainnya untuk membuat tambak udang berjenis super, hasil udang ini cukup memenuhi pasar Nusa Tenggara Barat bahkan hingga ke pulau Bali.
Kegiatan lain yang menarik adalah berburu aiq aning (madu lebah) juga menjadi penghasilan mingguan, berburu madu lebah tergolong cukup sulit, mendaki dan menyisir setiap gunung untuk mendapatkannya. Tanpa keahlian dan keberanian sulit berhasil mendapatkan madu, justru akan beresiko tersengat ribuan lebah, nyawa pun melayang. Banyak ditemukan ular berbisa yang mengancam nyawa pemburu. Tapi hasilnya merek madu Sumbawa sudah menembus pasar internasional hingga ke Brunei Darussalam, Singapura, dan Malaysia.
Rumah-rumah warga hampir semua berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu. Jarang di temukan rumah dari besi atau campuran semen, karena akan cepat lapuk dan berkarat dimakan air laut. Jika air pasang akan mencapai ketinggian dua meter dari tanah tempat berdirinya pondasi kayu.
Sangat jarang sekali prosesi pernikahan di jumpai, terhitung satu tahun paling sering ada dua pasangan yang melangsungkan pernikahan. Selain menelan biaya yang tidak sedikit juga karena tradisi Sumbawa yang dikenal “menikah satu kali sampai mati.” Rasa solidaritas yang tinggi, warga pun berduyun-duyun datang tanpa diundang untuk membantu, mulai dari mencari kayu di hutan sampai menyebrang ke pulau-pulau kecil. Ada yang menyumbangkan ternak kambing, hasil tangkapan ikan, hingga induk kerbau yang sangat besar sebagai santapan tetamu desa dan dari desa lain.
Angin semilir berhembus segar mendamaikan jiwa. Saat libur sekolah di hari minggu yang cerah, di pagi hari tersenyum diufuk timur semburat cahaya matahari pagi yang indah menguning. Anak-anak keturunan, dari berbagai macam etnik memadati dermaga. Bermain bersama teman sebayanya tanpa rasa berbeda; memancing ikan, setelah puas memancing semuanya terjun dari dermaga, mandi di laut. Keceriaan anak multi entik ini terbias dari kulitnya yang hitam, gigi putih dan tawa mereka yang akrab dengan panas suasana pesisir pantai, di perairan yang menjorok ke daratan, menjadi kekayaan bumi pertiwi tercinta.
Referensi untuk anda yang gemar memancing dan melancong, menyaksikan rasa Bhineka Tunggal Ika yang erat, ingin lebih dekat dengan alam. Datang saja ke Desa Teluk Santong
etnic
Hampir seluruh organisme di dunia ini membutuhkan air. Sebagian besar permukaan bumi terdiri dari perairan. Bahkan struktur biologis manusia 70% adalah terdiri dari air. Air merupakan salah satu rahmat allah kepada manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa rahmat dari Allah berupa air. Manusia bisa bertahan hidup 9 hari tanpa makan, tapi hanya butuh 4 hari manusia untuk mati jika tidak ada asupan air ke tubuhnya.
Kita mungkin tahu seorang profesor dari jepang Masaru Emoto. Seorang pakar tentang air, ia menunjukkan hasil kajiannya mengenai air. Ia mengambil sampel air dari berbagai sumber antara lain; sungai, laut, mata air pegunungan hingga air zam-zam di Arab. Setelah difoto dan di zoom out dalam slide melalui LCD projector, tampak pancaran berbagai-bagai rupa bentuk susunan molekul-molekul air tersebut. Sesuai kondisi airnya, ada yang seperti kristal yang berkilauan, sangat indah. Satu rupa bentuk molekul air zam-zam yang tersusun cantik berupa seperti berlian bersegi banyak, bersinar-sinar dan sinarannya mengeluarkan warna-warna yang menarik melebihi 12 warna
Hal ini membuktikan air merupakan benda hidup yang juga memiliki pengaruh secara naluriah dari alamnya. Air bisa di beri perintah, dapat menyerupai bentuk apa yang di sebutkan. Kita mungkin kurang percaya pada dukun, tapi dukun mengerti kegunaan air dengan sedikit mantra, dapat memerintah air untuk melihat objek wajah orang.
Sejak zaman dahulu, air digunakan sebagai media penyembuhan. Oleh nenek moyang kita dibacakan doa lalu di semburkan ke tubuh penderita sakit atau diminumkan. Secara ilmiah diteliti, air merupakan media penghantar energi-energi positif dari doa yang dibacakan tadi.
Seorang ulama dari malaysia mengatakan: "jika hendak air itu merasa manis maka masukkanlah gula, jika hendak air itu berwarna maka masukkanlah pewarna dan jika hendak air itu mulia maka masukanlah ayat-ayat yang mulia kepadanya".
Air Bisa di beri perintah, bahkan dalam hal ini menurut Rasulullah, air merupakan penyampai pesan. Kita biasa mengkonsumsi air, sesuai saran kesehatan. Tapi jarang memperhatikan sopan santun dalam meminumnya.
Rasulullah menggambarkan meminum air sembari berdiri merupakan hal keji, Rasulullah pernah menegur salah satu sahabatnya ketika minum air dari kendi langsung. Untuk itu minumlah air sambil duduk, dari tangan kanan, dari wadah sendiri. Utamakan sebelumnya membaca doa, minimal membaca “bismillahirrohmanirrohiem” barulah...glek...glek...glek... Ahhhh....
etnic
Menjelajah tanah jawa, menyediakan ratusan bahkan ribuan tempat wisata. Sebut saja wisata Wali Songo yang cukup digandrungi masyarakat yang ingin lebih mengenal sejarah, kebudayaan dan merasakan berkesannya pengalaman spiritual, dengan berziarah kubur ke makam orang-orang yang terkenal dekat dengan sang khalik itu. Tujuannya bermacam-macam, tapi untuk mengambil berkat dari penghuni kubur menjadi alasan yang lumrah.
Penemuan balung buto (sebutan masyarakat) atau homo erectus di Desa Sangiran di Jawa Tengah, oleh Von Koenigswald tahun 1936 membuat Desa Sangiran dimasukkan sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO. Menjadi salah satu pusat evolusi manusia di dunia. Situs manusia purba di Desa Sangiran meraup income dari kerangka tulang-tulang fosil dengan menjadikan lokasi tersebut alternatif wisata.
Setelah ziarah kubur dari kota Blitar, makam Khulafa’ Arrasyidin Soekarno, mantan orang nomor satu di Indonesia. Saya beranjak ke wilayah timur Indonesia, perjalanan menuju pulau Lombok. Saya singgah di pulau dewata, Bali. Berbicara wisata di tempat berjuluk paradise island ini tidak akan ada habisnya, karena mata dunia tertuju disini. Adalah sebuah wisata yang tidak serta merta menyuguhkan kesenangan semata, tapi juga kengerian dan ketakutan. Tempat yang sangat angker. Disebuah desa bernama Terunyan, di desa ini tulang-belulang manusia berserakan bagai dedaunan yang jatuh dari pohon.
Tidak terlepas dari tradisi dan kepercayaan nenek moyang. Warga Terunyan tidak mengubur atau meng-aben (membakar/kremasi) jasad warga desanya yang meninggal. Akan tetapi di letakkan begitu saja di atas tanah. Dengan di beri tudung anyaman bambu, untuk melindungi dari gangguan binatang, seperti anjing. Anehnya mayat yang disemayamkan disana tidak mengeluarkan bau busuk sedikitpun, hanya bau kembang dan asap menyan yang menyengat.
Pohon beringin yang rimbun menambah angker suasana dan pohon-pohon besar lainnya, dipercaya menyerap bau dari jasad yang membusuk tersebut. Pemandangan ini lantas menarik para wisatawan asing maupun domestik untuk datang merasakan kengerian dari serakan tulang-belulang tadi.
Saya melanjutkan perjalanan, pulang menuju pulau Lombok. Hal serupa juga di sediakan di pulau seribu masjid ini. Saya berwisata ke daerah selatan, di Desa Rambitan. Ziarah makam Syarif Abdullah atau lebih dikenal Wali Nyato’ (Nyata).
Sore yang cerah, saya tiba di masjid kuno Rambitan yang di bangun sang wali. Peninggalan beliau berupa lembar-lembar kitab suci Al-Quran bertulis tinta emas, gante kuda, dll. Arsitek kuno abad 16 ini tidak lapuk oleh masa, dibiarkan lestari dan alami. Beratap ilalang tua, bertiang kayu kopang dengan sisipan bambu, lantainya pun dari tanah.
Uniknya, masjid yang berukuran 7,8 m x 7,6 m ini memiliki pintu masuk yang sangat kecil. Sehingga memasuki masjid kuno ini harus menundukkan badan hingga mencium dengkul. Sebuah filosofi dari rasa tawaddu (tunduk) ketika menghadap sang raja diraja, penguasa alam.
Selepas sholat isya, pukul 22 malam saya dan empat kawan saya melanjutkan perjalanan sepanjang 1 kilo dari masjid kuno menuju makam sang wali yang hanya boleh diziarahi pada hari Rabu saja. Angin dingin dan gelap malam yang disirami redup sinar bulan menambah getaran hati. Kami singgah perenungan di berugaq untuk menunggu hujan reda, juga menunggu tengah malam (hari rabu).
Makna makam berbeda dengan kuburan. Tidak harus jasad kasar tertanam, akan tetapi makam bisa berarti beliau menghilang ditempat ini. Begitulah kekeramatan tempat ini. Sang Wali terkenal sangat wara’ dan zuhud. Apakah sifat utama yang menjadi kelebihan ini dapat kami ambil berkatnya?
Menurut hemat saya; Gelas yang saya pegang saat ini, hingga puluhan tahun kedepan, masih melekat energi-energi tubuh saya. Secara meta fisik, jika kita berziarah kubur. Jasad yang tertanam di dalamnya pun masih tersimpan energi-energi empunya. Hal inilah lebihnya berziarah kubur, menjadi rujukan untuk pengambilan berkat di makam ini.
Menurut penuturan orang yang sering ziarah di makam Nyato’. Sering terjadi keanehan-keanehan; seperti cahaya yang terang benderang memancar dari lokasi makam, bagi peziarah yang khusu’ akan mendengar bisikan-bisikan ghaib berupa nasihat, langsung ataupun melalui mimpi. Sering adanya penampakan-penampakan; keris emas, dsb. Juga bisa ditemui secara nyata, langsung oleh sang wali (face to face).
Pukul 00.00 saya dan teman-teman berjalan menuju makam. Di tengah pekuburan dan makam yang sangat gelap, butir-butir hujan tak lagi berjatuhan dari langit, dingin pun menusuk-nusuk tulang, membuat bulu roma kami setiap detik berdiri. Rasa ngeri, tenang, damai campur aduk. Hanya sinar bulan tanggal enam bulan syawal berupa tandan tua yang menemani langkah kami.
Hujan mereda, suasana tetap sunyi, kami bersimpuh di atas bebatuan makam, sembari membacakan ayat-ayat suci al quran yang kami hafal lalu dzikir-dzikir dan memanjatkan doa kepada sang penguasa alam. Kami tenggelam dalam alam tawassul yang begitu mendamaikan jiwa, sangat menyenangkan.
Saya benar-benar merasakan begitu rendah dan tidak berharganya dunia ini. Dipenuhi orang-orang hina, terkutuk, kecuali yang senantiasa ingat akan Allah SWT. Tuhan semesta alam. Saya ber-tawassul agar di tunjukkan rahasia cerita dari Rasulullah yang beliau (Wali Nyato’) simpan.
Beliau berfatwa secara ghaib. “Rasulullah ketika menyendiri, beliau sesempurna-sempurnanya menyendiri, ketika bergaul Rasulullah sesempurna-sempurnya bergaul. Ketika berdoa Rasulullah sesempurna-sempurnanya berdoa. Rasulullah berat meninggalkan dunia jika meninggalkan umatnya dalam keadaan jauh dari Allah. Sesempurna-sempurnanya rasa sakit saat sakaratul maut ummatnya, kita. Rasulullah juga ikut menanggung, membagi rasa sakit kita. Saat Rasulullah sakaratul maut pun ‘ummati, ummati, ummati.’ lagi-lagi kita ummatnya yang dicintai yang beliau ingat. Hari dan orang pertama kali dibangkitkan yang pertama ditanyakan Rasulullah adalah kita, ummatnya ‘bagaimana keadaan ummatku?’ Maka, bagaimana cintamu pada dunia yang hina dan tidak ada harganya ini mengalahkan cintamu pada Rasulullah…?” sembari menangis, Ia lalu membaca ayat-ayat suci Al-Quran (attaubah 128)