etnic

Fans : duuh cipte... fotoan sama siapa sih?
Cipt : oh, ini? ini sama mbak Afifah Afra dan jawa tengah. beliau penulis kenamaan.
Fans : oh gitu ya cakep?
Cipt : ya iyalah, masa ya dong....
Fans : ada acara apa sih kok bisa fotoan sama orang beken gitu?
Cipt : oh, kemaren tanggal 22 maret 2009 ada peluncuran&bedah buku kumcer sekaligus ada
sayembara cerpen se-jatim, nah kebetulan aku panitia sekaligus peserta sekaligus runner up.
Fans : hebat dong...?
Cipt : hebat dari hongkong. apalah arti penghargaan dari manusia. (sok kalem lu)
etnic
Hitam, putih. Kejahatan dan kebaikan akan selalu berdampingan. Mereka ibarat mantram-mantram veda dengan sang aku sejati yang murung dan malas. Mantraman itu adalah nyanyian pujaan yang ditujukan kepada para Dewa agar menganugrahkan kerahayuan hidup di dunia.
Lalu, apa makna warna abu-abu di kain-kain poléng kami? Aku tidak tahu. Aku melempar kembali kain itu ke dalam lemari. Aku terlalu sibuk bergaul dengan makhluk-makhluk sebangsa edius, keluarga adobe dan FL studio, menekan tuts mouse hingga rusak karena kebencianku akan kematian mereka. Menembak habis kepala para teroris dengan senjata AK47. Mengurung diri di kamar, setiap hari sepanjang tahun ini. Hah, hidupku membosankan.
Atau bisa saja dengan mudah beralasan pada Mémé (Ibu) dan Aji’ (Bapak), pekerjaanku sebagai editor memang seperti ini. Aku menemukan semadi yang kirab dengan caraku sendiri. Toh benda ini dapat memberi kesenangan dalam hatiku. Tapi kenapa hanya sesaat saja kurasa?
‘dar-dar-dar…’ suara pintu kamarku. “Bli… Bli Budi!? ayo sembahyang! pantai Tanah Lot akan sangat ramai sekarang. Pure jam segini sudah padat sekali. Cepat Bli, ayo!” teriak seseorang dari balik pintu kamarku. Heh, seperti biasa Bli Jaye butuh tumpangan.
“Tidak! Aku banyak pekerjaan, Bli pergi saja dengan motorku,” jawabku singkat sembari kubuka pintu kamar. Bli Jaye menatapku lekat.
“Ada yang tidak beres dengan dirimu, Bli. Wajahmu kusam sekali. Cobalah cari udara segar keluar atau bergaul dengan teman-teman, surfing, snorkling, dugem ke Paddys. Atau apa saja, asal tidak di dalam kamar terus…” kata Bli Jaye. Alis tipisnya dimainkan sedemikian rupa untuk menyindirku.
Kadang alasan pekerjaan adalah senjata ampuh. Untuk menipu Mémé dan Aji’ agar tidak terus memintaku sembahyang pada tilem kesanga nanti. Upacara pesucian Dewa-Dewa yang bertahta di pusat samudera sana. Selanjutnya Dewa akan membawa tirtha amertha kamandalu, inti sarining air kehidupan untuk kesejahtraan yang kami ambil dari percikan-percikan air suci dari tangan pdande1.
Senjata murahan itu kadang tidak berfungsi dengan baik, hingga aku berat hati mengenakan satu persatu pakaian safari dan kain poléngku, lalu dengan perasaan malas melangkahkan kaki ke tanah-tanah pure pesembahyangan.
Setelah aku telusuri ingatan, aku tidak pernah aktif dalam kegiatan di bale banjar2, ramah-tamah dengan siapapun, tetangga, lebih-lebih kerabat jauh. Sejenak kuperhatikan masa laluku, ada beberapa catatan kecil yang teramat kelam. Sejak peristiwa kehancuran itu, aku tidak percaya lagi dengan anti kemapanan dan sahabat sejati.
Jujur saja, aku lebih suka tenggelam di lautan website, di depan monitor ajaib yang dapat menunjukkan apapun yang aku perintahkan. Menjelajahi dunia maya, atau seharian bermain counter strike. Game kesukaanku. Berbeda jika Hari Raya Nyepi tiba, sebentar lagi.
Hari dimana aku harus berpuasa, tidak bekerja, tidak bepergian kemana-mana, tidak mendengarkan hiburan. Lebih-lebih amati geni, tidak menghidupkan api atau listrik. Maka komputerku akan menjadi bangkai untuk beberapa hari. Aku pun kembali menjadi makhluk religius dana paramita; suka beramal, dharma, dan kebajikan. Tantangan berat bagi seorang introvert sepertiku yang hanya bersahabat dengan kesendirian adalah jauh dari teknologi.
“Budi…? Nak? Aji’ sama Mémé berangkat duluan ke pure,” kata Aji’ pelan dari balik pintu. Dari remang suaranya, ada kelembutan seorang pecalang3 sejati menelusup hatiku, aku merasa bersalah. Aji terang meminta kehadiranku di tempat itu. Entahlah? kenapa jiwaku yang sedari dulu gamang, menguasai kehendak sanubariku untuk mendekat pada Sang Hyang Widhy.
Aji’ terkenal tegas dan begitu dihormati, bukan saja karena silsilah keluarga kami dari kasta brahmana4, Aji’ juga adalah seorang pacalang jagawana yang diberi kehormatan menjaga ketertiban aktivitas manusia.
Aji’ akan dengan senang hati memberi makan anjingku yang setiap pagi mendengking-dengking kelaparan. Tuannya terlalu sibuk dengan komputer. Paice, begitu kuberi nama anjing Desa Kintamani yang tak sengaja aku temukan bulan lalu. Sebenarnya bukan aku yang menemukannya, tapi laki-laki berwajah teduh di depan rumahku. Ia telah berbaik hati mengangkat Paice yang terjebak di selokan.
Laki-laki itu selalu mendulum senyum akrab padaku walau aku mendadak autis5, pura-pura tidak tahu keberadaanya. Saat menemukan anak anjing itu adalah awal perkenalan kami.
“Joger ya? Saya suka bajumu, merek internasional kan, bli? Kude?” sapanya ramah. Kalimat perdananya membuatku seakan mengenalnya sejak dulu. Mimik wajahnya pas dengan rona senyumnya, sampai-sampai gigi taringnya yang agak panjang terlihat dengan jelas. Mungkin belum di kikir. Batinku.
“Perkenalkan, nama saya Muhammad. Panggil saja Mamad.” Kuat ia jabat tanganku, mantap. Terasa getar energi ketulusan yang merambah dari tangannya.
“Glek!” laringku tercekat, mataku melotot tak jadi berkedip, aku tidak percaya dengan pendengaranku atas namanya. Ku bekukan senyum, coba mengeluarkan suara untuk menghentikan jabat hangat tangan dan tatapan sendu matanya, “ee… Budi!”
Mungkin tidak membutuhkan waktu lama untuk membenci seseorang. Aku tidak berniat tahu lebih jauh orang ini. Ia bukan asli Bali. Relung jiwaku masih terasa miris akan tragedi beberapa waktu lalu. Walaupun eksekusi mati sudah dilakukan bagi pelaku pengeboman. Lukaku belum pula mengering hingga saat ini.
Jujur aku tidak menyukainya. Ingin rasanya kujadikan ia sesajen untuk tumbal keangkuhan yang telah lama kerak, entahlah. Aku tidak percaya kali ini aku berani berdoa; perbaiki aku Tuhan!
Tiba di sebuah malam paling membosankan. Sudah larut malam. Aku mencoba memejamkan mata, pegal-pegal dan rasa ngantuk mulai menguasai tubuhku karena seharian menekuri layar monitor. Aku merasakan dinginnya angin bulan Desember menusuk hingga ke tulang. Aku rapatkan lagi jendela kamar yang berhadapan dengan kamar kos Mamad diseberang gang. Lampu kamarnya redup, tapi…
“Astaga…apa itu!?” aku terkejut setengah mati. Ada kilatan cahaya yang sangat terang menerobos keluar-masuk kamar Muslim itu.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali hingga cahaya itu redup. Aku memang pernah kerauhan5 tempo hari, tapi hal ini kegaibannya nyata. Dadaku berdebar kencang, jangan tanya rasa kantukku yang musnah. Aku mantapkan hati, harus cari tahu. Sebelum keluar rumah, sempat kuraih kupluk untuk tudung kepala.
Kakiku kesemutan, aku paksa saja berjinjit seperti maling, mengendap-endap karena tidak mau membangunkan Aji’, Mémé dan warga kompleks lainnya. Dadaku benar-benar serupa deburan ombak pantai Kute yang siap menghempas para peselancar, perasaanku campur aduk.
Kegelapan berbaur dengan sunyi, lolongan Paice dan anjing liar seolah tertelan malam, bahkan jangkrik musim kawin pun terdiam karena terlindas kilatan cahaya tadi. Langkahku bertambah, rasa takutku pun semakin menjadi-jadi. Nafasku tersengal menghirup embun yang tertitip di pucuk-pucuk dedaunan. Pohon beringin besar di ujung jalan menampakkan bayangan raksasa, tinggi sekali. Ditambah bau asap dupa yang menyengat entah dari mana. Angker. Tubuhku merinding.
Aku curiga, patung ogoh-ogoh raksasa perwujudan Bhuta Kala itu akan menyergap dan memakanku hidup-hidup. Derap kakiku telah sampai di teras kos, jendela dari kayu sonokeling berukir motif Bali itu terbuka lebar. Itulah jalan masuk cahaya tadi. Aku yakin, cahaya itu akan muncul lagi saat aku mencuri pandang, seperti bom waktu yang menunggu titik ledaknya.
Rasa penasaranku begitu tangguh sampai-sampai mengalahkan takut yang di selimuti malam pekat dan dingin ini. Tanpa angin sedikitpun. Sepi. Mulai mendekat kearah jendela, ku dongakkan kepala agar mampu mataku menyaksikan kegaiban ini.
Tampak tumpukan buku, perangkat komputer. Remang cahaya lampu tidur tak dapat menerangi seluruh isi kamar sesempit ini. Tapi masih bisa jelas kulihat tempat peraduan hijau yang tak berpenghuni. Kemana si Muslim itu? dadaku masih pula berdebar. Kupegang erat jendela kamar dengan tangan basah oleh keringat dingin. Kucari di sudut kanan.
Tidak ada hal mistik, kecuali laki-laki berwajah teduh itu sedang melakukan gerakan-gerakan eksotik. Sedang apa dia? Gerakannya teratur, kini ia menyelungkurkan wajahnya di atas permadani. Lama sekali Mamad tersujud.
Perlahan ia menoleh ke arah kanan, tampak tulang pipinya yang merah dan basah oleh linangan air mata yang dipantulkan cahaya redup kamar itu. Tak pernah kulihat wajah sedamai ini sebelumnya, rupawan wajahnya seperti bersatu padu dengan sari pati kedamaian. Tapi pucat pasi, kubaca sebuah ketakutan yang maha dahsyat disana.
Lalu ia menengadahkan kedua tangannya, sepertinya ia sedang berdoa sepenuh hati, aku terpaku. Warna aura tubuhnya mengepul, cakra-cakra ruhnya dengan zat Tuhan telah terbuka, tidak ada hijab. Ruh itu terbang secepat kilat keperaduan kekasihnya dan menyatu hanya dengan gerakan eksotis tadi.
“Astaga…ini dia…Cahaya itu?”
“Maliiing…maliiing…!!!” teriak seseorang dari belakang. Aku tersentak kaget, celingukan ditempat. Cepat aku balikkan badan. Ada seseorang berwajah gelap membawa pentungan seukuran kepalan tangan, dilayangkan kearahku.
‘Taaaak….nggiiiinggg…’ dengung keras merangsek gendang telingaku, dunia berputar, kepalaku berat. Tubuhku lalu terkulai di bawah jendela sonokeling itu. Samar bunyi kul-kul mulai menghilang, malam pekat itu semakin pekat dan gelap gulita.
***
Sebuah hari yang baru dan benar-benar berbeda. Sudah hari ketiga Mamad datang ke kamarku, membawa buah paforitku, mmm… salak Bali. Ia membesukku, membenarkan letak bantal dan selimutku, meng-install anti virus ke komputer kesayanganku, mengerjakan pekerjaan videography-ku. Padahal tengkuk leherku sudah tidak sakit lagi, ia begitu perhatian padaku.
Sedangkan Bli Darya, pecalang desa yang bertugas mengamankan desa tak tampak batang hidungnya setelah memukul tengkukku malam itu. Bisa sampai mati, kalau saja Mamad tidak menahan laju Bli Darya yang menyangka aku maling, mungkin aku sudah menjadi abu, terombang-ambing di lepas pantai Kute menjadi pasir, setelah dikremasi dalam tungku pembakaran. Selanjutnya upacara ngaben6 hingga tujuh hari tujuh malam, melagukan tabuhan mistik gamelan untuk mengiring kepergianku.
Butuh berapa lama untuk menyukai seseorang? waktu itu tidak pernah ada batasan. Aku dan laki-laki santun ini mulai akrab, bertukar pikiran tentang banyak hal. Memahaminya. Tertawa-tawa. Pernah sekali bertualang ke pulau Menjangan, mengambil video anak-anak burung Albatros yang dimakan tikus raksasa. Menyenangkan bersamanya.
Aku pahami ketegasan dan kelembutannya yang terkadang muncul. Aku memiliki teman yang dapat dengan mudah aku maafkan atas kesalahan yang tidak pernah dilakukannya.
Aku mulai tahu makna jihad yang jadi sesumbar orang yang salah kaprah. Yoga juga hasil jihad, mengendalikan diri, perang hawa nafsu duniawi juga jihad. Aku bertanya tentang rahasia kilatan cahaya malam itu. Bibir yang ditopang janggut tipis itu hanya tersenyum lebar. Ia tidak banyak tahu, hanya menjelaskan bagaimana setiap saat ia menjaga kebersihan diri.
Pagi ini aku masih di kamar kosnya, ah terpuji sekali akhlaknya. Semut-semut yang mengerubungi tempat tidurnya, disapunya keluar dengan hati-hati, ia pastikan tak seekor pun tersakiti, apalagi sampai mati.
Lebih lanjut aku tahu bahwa ia selalu menjaga wudhu’nya. Ketenangan yang terpancar dari wajahnya ternyata adalah karena air yang dapat disucikan setiap saat. Ia menjelaskan apa itu wudhu’ zahir dan wudhu’ bathin.
Dimana ia membasuh tubuhnya tidak hanya dengan air suci itu, juga dengan; taubat, tidak tergila-gilakan dunia, pujian, meninggalkan kesombongan sekecil apapun, tidak bersifat khianat, berdusta dan meninggalkan sifat dengki. Aku membulatkan mulut, takjub. Tak malas Mamad menjelaskan lagi.
“Aku bayangkan Allah ada di hadapanku, syurga di sebelah kananku, neraka di sebelah kiriku, malaikat maut berada di belakangku, dan aku bayangkan pula bahawa aku berdiri di atas titian sirat. Dan aku anggap saat itu adalah sholat terakhirku, lalu berniat dan bertakbir dengan baik. Setiap bacaan dan doa dalam sholat kufahami maknanya, kemudian aku ruku' dan sujud dengan tawadhu', aku bertasyahhud dengan penuh pengharapan dan aku memberi salam dengan ikhlas.” Sungguh aku takjub dengan penjelasannya, masuk akal. Aku makin penasaran, bertanya lebih jauh tentang sujud.
“Sujud adalah kebutuhan, meditasi puncak tertinggi, mi’raj-nya seorang hamba untuk bertemu dengan Tuhan. Nikmat yang tiada tara.” Jelasnya lagi.
Sedetik dirumahku, Mamad berdiri, baju koko hijau kebesarannya terlihat anggun menempel di badan segarnya. Ia permisi untuk mengerjakan shalat dhuha. Bangga ia menunjukkan identitas sejatinya, bahkan pada Aji’ dan Mémé, tidak ada suasana risih dengannya.
Aji’ dan Mémé menyukainya. Mereka mafhum betul, videography adalah salah satu pengikat persahabatan kami. Aku memujinya, ia membantuku bekerja, memberiku pelajaran-pelajaran editing, kami makan bersama di depot paforitnya, terkadang pergi berselancar di hari minggu.
Lucunya, Mamad selalu dengan pakaian tertutup ketika berselancar. Dengan cepat ombak menghempas dan menelannya. Ia malu kelihatan secuil saja betisnya, walau itu terhadapku, sesama lelaki.
Sembari menggosok giginya dengan sewak, ia berceloteh ‘bagiku agamaku, bagimu agamamu…’ prinsip inilah yang mengokohkan rasa solidaritas kami. Mamad sangat tegas dan memegang teguh agamanya. Ia sholat lima waktu, puasa Senin Kamis, membayar zakat, rajin membaca Al-Quran dan kitab. Berbeda dengan aku, malas sembahyang ke pure. Padahal dua hari lagi adalah saat-saat ngembak geni.
Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih. Jadi kalau tahun Masehi berakhir tiap tanggal tiga puluh satu Desember dan tahun barunya dimulai satu Januari, maka tahun Saka berakhir pada panglong ping limolas (tanggal lima belas) sasih kedasa (bulan sepuluh).
Ngembak geni adalah akhir dari perayaan Hari Raya Nyepi. Pada hari inilah tahun baru Saka tersebut dimulai. Umat hindu bersilaturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, kesama atau saling maaf memaafkan satu sama lain.
Keesokan harinya, aku dan Mamad cukup penat dengan keramaian, setelah mengambil beberapa view di pawai ogoh-ogoh7. Akhirnya iblis raksasa itu dibakar habis sudah, menjadi abu.
Diskusi kami berlanjut di atas perjalanan perahu sore ke Tanjung Benoa. Menurut Mamad, perhitungan tahun Hijriah berakhir pada tiga puluh Dzulhijjah, jadi ummat Muslim bertahun baru pada satu Muharram. Ia menjabat tanganku, tahun baru Masehi ini kami sepakat berdoa pada Tuhan agar menyucikan bhuwana agung. Agar tidak ada lagi kerusakan dan pertumpahan darah.
Di atas perahu yang melaju pelan, aku terkesima melihat sahabatku ini. Dalam sujud sholat ashar yang khusu’ di ombang-ambing ombak sore. Mamad menginspirasiku untuk mencari kebenaran, menggali agamaku sendiri. Membangun sosialku dengan empat puluh rumah ke segala penjuru. Bagaimana mungkin seseorang melupakan lingkungan dan Tuhan-nya, sementara mereka tidak akan bisa hidup tanpa yang lainnya?
Aku tersenyum sendiri, memikirkan sebuah nama untuknya ‘Kalky Kala Patra’. Ya, Kalky berarti ‘terpuji’. Sedang ‘Kala Patra’ berarti...

ups kepotong... katanya mau di terbitkan di majalah girliezone...? bener ga ya...?


~Uwud~
etnic

Huru-Hara di Hari Haru

Maha Guru Sejatiku…
ketika ketertindasan ini telah membuat kami mengigau
panjang lebar tentang syurga tak bermajikan
ketika segala hipotesa dan teory
telah membuat kami orgasme dalam
romantisme pergantian tahun ini
kamipun tak menyadari
kedatangan duta-duta masa lalu itu
di hadapan tipu muslihat palsu kami
mereka melolos mata pedang kebenaran
yang tajam dari warangka sejarah
kami ketakutan dan melarikan diri
maha guru sejatiku
kami telah adu domba firman Mu
dengan sajak-sajak materialisme
aku sangka engkau murka
tapi…Engkau malah menganugrahiku kesunyian
dan judul dari bait puisi ini…