etnic

BANNA NIHAYAL INTIHAN namanya, lahir 15 maret 2008. Banna panggilannya. dia adalah keponakanku yang pertama. bahkan kakakku tidak aku izinkan memberinya nama. hehe...aku yang memberinya nama BANNA NIHAYAL INTIHAN yang berarti "membina". Ba dari huruf hijaiyyah, Ba inti sari dari kalimat bismillah, bismillah inti sari dari al fatihah, al fatihah inti sari dari al quran, al qur an inti sari dari firman Allah SWT. nama adalah doa mudah-mudahan Banna berakhlak Al Quran dan dapat membina, kelak. amin.
etnic

Apakah kawin lari sebagai terobosan dari jalan buntu? Apakah kawin lari merupakan tindakan kenekatan yang penuh dosa? Atau langkah yang mencerminkan kebijaksanaan adalah dalam penyelesaian konflik sosial dalam masyarakat? Apakah rasa cinta melenyapkan rasa takut? Atau adat sejak dahulu sudah melatih para pemuda-pemudi untuk berani mengambil resiko?
Dimasa lalu, kawin lari bisa berakhir dengan kematian. Tapi inikah langkah cinta yang bisa ditempuh pasangan muda-mudi untuk meneruskan tugas kekhalifahan. Tapi apakah dengan jalan kawin lari? Bukankah satu kebaikan akan lebih baik dilakukan dengan jalan kebaikan pula?
Adat menyediakan solusi. “ngerangkat” atau “ngerorot”, orang Bali menyebutnya untuk menghindari upacara adat yang menelan biaya yang tidak sedikit. Sementara bangsa Bugis (makasar) menyebutnya “selariang”. Suku Sasak sebagai penduduk pulau Lombok memberikan nama “merariq”. Adalah membawa lari calon istri untuk di kawini.
Lalu para pemuda yang kebelet nikah itu berhasil melabuhkan cinta dengan restu adat. Demikianlah kawin lari, tidaklah selalu mengerikan. Karena adat menciptakan kawin lari sebagai pemecahan jalan yang sudah buntu. Dengan memenuhi beberapa ketentuan, cinta yang gagal tetap bisa diafdholkan.
Alasan utama kawin lari, umumnya karena orang tua yang tidak menerima sang calon menantu. Itu karena orang tua sangat selektif terhadap pendamping anaknya. Karena akan menentukan kehidupan di masa depan.
Alasan yang lazim adalah perbedaan status sosial, ini terasa pada masyarakat yang menganut garis bapak yang punya lapis sosial ketat. Tidak mudah mempersunting gadis keturunan bangsawan kalau tidak sesama keturunan bangsawan. Terpaksalah kawin lari.
Seorang perempuan bangsawan Sasak Lombok ‘menak’ tidak boleh menikah dengan laki-laki dari golongan kebanyakan atau ‘kawula’. Menak adalah orang-orang yang bergelar ‘raden’ dan ‘lalu’. Dibeberapa tempat ada pula sebutan ‘bape’ atau ‘puling’. Status ini jelas berbeda dengan golongan kebanyakan ‘kawula’ atau ‘jajar karang’.
Hingga tahun lima puluhan, jika ada yang nekat melanggar ‘pendosa’ pelanggar tabu ini akan divonis dengan sebutan ‘tesilong’ atau diusir keluar kampung. Zaman sekarang pun pengusiran ringan, dikucilkan keluarga, anak bangsawan akan ditendang dari daftar keluarga masih saja terjadi. Itu bila pengantin laki-laki kalah status. Tindakan memutuskan tali silaturrahim semacam ini sangat di murkai agama.
Dimasa lampau ‘pendosa’ atau yang melanggar, tidak punya cukup waktu untuk bersedih hati, karena masyarakat langsung menjatuhkan hukuman mati. Kadang dengan cara yang tragis dan dramatis dengan melemparkan keduanya ke laut atau tengah sungai yang dihuni buaya-buaya lapar.
Masyarakat Lombok mengenal apa yang disebut ‘merariq’. Biasanya Orang tua si gadis tidak menghalangi anak gadisnya dibawa ‘merariq’ malah justru merekalah yang mengotakinya. Namun ada pula sebagian orang tua yang tidak tahu dan tidak menyetujui, dan ingin anaknya ‘bebelas’ atau dipisahkan.
Masyarakat Sasak sangat sulit menerima laki-laki ‘luar’ sebagai menantu, biasanya mereka menjodohkan anak gadis mereka dengan keponakannya. Maka jika terjadi situasi seperti ini, tidak ada pilihan lain bagi seorang pemuda baik sama-sama dari golongan ‘menak’ maupun dari golongan ‘kawula’ selain membawa gadis impiannya. Disinilah ritual ‘merariq’ tersebut dilaksanakan sebagai solusi.
Pelarian disini tidak lagi menjadi kisah yang pahit. Terkadang jika seorang gadis sudah diinginkan oleh sepupu-sepupunya sendiri, hal ini tentu dapat mengakibatkan perpecahan keluarga. Tidak ada pilihan lain bagi sang ayah selain mempersilakan anak gadisnya untuk ‘merariq’ dengan laki-laki pilihannya sendiri. Yang lain harus sportif menerima kondisi ini. Sementara sang ayah berpura-pura tidak tahu.
Beberapa gadis lebih suka dibawa ‘merariq’ dari pada kawin biasa. Sehihgga setiap perkawinan dengan segala macam upacaranya dipatuhi oleh masyarakat. Si laki-laki membawa lari si gadis secara rahasia kerumah kerabat (bukan rumah orang tua) untuk menjaga nama baik kedua belah pihak dari fitnah (zina). Pantang sang perempuan dipulangkan apabila sudah dibawa merariq.
Sebagai dasar hukumnya, perkawinan akan sah apabila memenuhi tiga macam hukum: hukum agama, hukum negara dan hukum adat. Dalam pelaksanaannya ketiga macam hukum ini tidak dapat dipisahkan.
Mengenai hukum perkawinan negara, termaktub dalam undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 yang sekaligus termasuk dalam hukum agama, juga sudah memiliki ketegasan dalam pelaksanaan dan sanksinya.
Permasalahan adat dalam perkawinan suku Sasak dengan segala macam upacaranya: kedua calon pasutri ‘merariq’. Sang gadis dibawa lari laki-laki dengan niat untuk membina hubungan rumah tangga yang sah. Biasanya batas pelarian hanya tiga hari dari prosesi sejati/selabar.
Dilanjutkan melaksanakan sejati/selabar. Mesejati adalah sebagai laporan kepada perangkat desa (kades atau kadus) bahwa di desanya telah ada orang yang melakukan merariq untuk kemudian akan menjadi suami istri. Sedangkan selabar adalah menyebarkan kepada masyarakat bahwa telah merariqnya seorang laki-laki dengan seorang perempuan.
Tahap selanjutnya, adalah mengambil wali kepada pihak perempuan untuk diusahakan menjadi suami istri secara agama Islam. Meskipun soal ini tidak terpisahkan dalam tahapan pelaksanaan adat, namun pelaksanaannya murni berdasarkan agama Islam dalam perkawinan adat Sasak. Karena suku Sasak telah lama bertransformasi menjadi agama Islam seutuhnya.
Mambaiat janji ini sebenarnya merupakan perundingan pihak keluarga mempelai laki-laki dan mempelai perempuan untuk menentukan, kapan penyelesaian adat dilaksanakan. Termasuk biaya yang diperlukan, karena dalam perhelatan itu akan melibatkan orang banyak baik keluarga kedua belah pihak.
Setelah segala hal disepakati, barulah ijab qobul di hadapan penghulu dilakukan, prosesi ini untuk kalangan terbatas pada keluarga, oknum adat, pemuka agama beserta saksi-saksi.
Selang beberapa lama, biasanya satu minggu dari ijab qobul, barulah diadakan ‘nyongkolan’ atau iring-iringan pengantin dari rumah mempelai laki-laki menuju rumah mempelai perempuan. Prosesi puncak ini sangat digandrungi semua kalangan masyarakat.
Biasanya semua warga tumpah ke jalan menyaksikan prosesi nyongkolan ini. Masyarakat bersuka cita menyambut pengantin baru. Iring-iringan pengantin bisa mencapai ratusan orang yang dirias cantik dan gagah dengan balutan pakaian adat, diiringi meriahnya tabuhan gendang beleq hingga dua barungan (kelompok).
Dari gerbang rumah mempelai perempuan sudah siap penyambut berpakaian adat dengan tabuhan gendang beleq pula. Suasananya bertambah meriah dengan bertemunya dua kubu dentuman musik tradisional tersebut.
Baru setelah pengantin sampai di rumah mempelai perempuan. Secara simbolis pengantin melakukan sungkeman pada mertuanya, derai air mata sedih bercampur bahagia biasanya terlinang saat itu. Selanjutnya mempelai perempuan melangkahkan kakinya keluar pintu, bahwa ia talah resmi keluar dari rumah orang tuanya menuju rumah sang suami (pamitan). Prosesi ini disebut balik lampak nae/nyempalik.
Beru setelah malam hari, nyempalik kedua dilakukan. Hal ini lebih santai karena tidak membutuhkan pendamping atau prosesi adat seperti sebelumnya. Nyempalik malam ini, pengantin perempuan mencurahkan isi hati, harapan, dan meminta maaf pada kedua orang tuanya. Dan memohon untuk diikhlaskan membina keluarga dengan suaminya. Sekaligus membawa serta barang-barang miliknya berupa pakaian dsb. Kembali kerumah sang suami untuk membina rumah tangga baru yang sakinah mawaddah, warrahmah. Amin.
Demikianlah ‘merariq’ atau kawin lari dalam adat Sasak Lombok. Tidak selalu berkonotasi negatif. Bisa jadi kawin lari menjadi suatu kearifan tradisi, mencegah perpecahan dan konflik sosial. Agar manusia memiliki pegangan dan dasar-dasar etika sebagai puncak-puncak kebudayaan sebagai identitas bangsa yang berkarakter. Terarah pada kebaikan untuk hajat hidup manusia itu sendiri. Wallahua’lam.

Thaks to : Lalu Pangkat Ali, P-4. Kopang
~etnic~

etnic