etnic



Malang, 30 November 2008


Kasyaf, di Teluk Titipan


Saat ini, aku tidak hanya berdua dengan Inaq. Banyak pula yang mengiringi kepulanganku, seperti ketika aku datang. Para simpatisan, dari LSM maupun dari Departemen Agama. Perjalanan pulangku ini eksklusif, dikawal tujuh ikhwan berjanggut tebal, laskar jihad yang siap mati konyol setiap saat demi apa saja. Kami diperlakukan seperti Al Capone saat dipindahkan ke penjara Alcatraz. Aku dianggapnya bom waktu yang setiap saat akan meledak. Aku bersumpah, kami bukan pembunuh berdarah dingin. Kami hanya keluarga dari Bapakku. Aku tegaskan lagi, aku anak dari seorang pahlawan. Mulai dari Lapas Nusa Kambangan kecurigaan terus menyoroti setiap depa langkahku ketika mengiring sesosok jenazah. Persoalan ini membuat kepala kami serasa tertindih berton-ton batu. Aku berharap ini mimpi, tak pernah terjadi. Di setiap pelabuhan penyebrangan, para wartawan menunggu kami, mengambil gambar dan bertanya macam-macam. Sepatah kata kami tidak berbicara. Seperti selebriti saja mereka memperlakukan kami. Kami jadi makanan empuk. Yang tidak tahu etika, mereka seperti leak1 saja yang memakanan darah dan daging manusia. Mereka kanibal, mengumbar aib saudaranya. Mereka akan datang! Sungguh, mereka telah datang! Bukan, bukan, bukan! Mereka menunggu kami. Kamilah yang datang pada mereka. Kehadiran kami bersama sesosok mayat ini, menyulut sisa-sisa dendam yang tak kunjung mereda. Aku dan inaq memilih di dalam bus bersama ikhwan simpatisan daripada di dalam mobil jenazah. Aku tangkap gundah di wajah murung para mujahid ini. Lama sekali bus kami menunggu kapal-kapal bongkar muat bergantian. Aku harap perjalanan ini tidak pernah berakhir, sekalipun akan sampai ke baithi jannati kami di Lombok Tengah. Aura mistis pulau dewata terasa mendidih, gunung Batur tak lagi bersahabat. Di Gilimanuk beberapa orang berbondong-bondong mendatangi kami. Merekalah yang kami maksud. Bukan untuk berbela sungkawa. Tapi, untuk sekedar melampiaskan kepedihan hati mereka yang egois. Mungkin atas kematian istri, kematian anak atau sanak saudaranya. Meraka mencari sesajen berupa kambing hitam untuk tumbal kemarahan, pembalasan dendam. Anak dan istri pelaku pembomanlah orangnya. Aku dan Inaq. Bus kami berhenti. lebih tepatnya diberhentikan. Aku terkesiap, menatap wajah teduh Inaq yang membenarkan posisi jilbabnya, Ia terlihat gusar. Gerombolan itu menggerayangi bus kami. Ricuh. Mereka tidak tahu. Hatiku juga hancur dalam kesedihan, belum puaskah mereka? Bukankah Bapakku sudah dihukum mati? Sungguh, aku tidak mencari-cari pembenaran. Semua itu akibat penyakit kasyaf2 yang diderita Bapak. Bapak bukanlah Imam Abu Hanifah yang tahan dengan wabah mujahid ini. Salahkan itu, Bli! Para ahli tasawuf sering menerimanya sebagai hasil mujahadah. Sebagian orang mengatakan kasyaf itu sebagai penyakit. Aku menganggapnya begitu. Aku tahu betul tragedi Gereja-gereja di Mataram karena benda pemusnah itu. Dosa-dosa yang tampak nyata melatar belakangi tindakan anarkis Bapak dan laskar jihad jaringannya. Aku pernah melihatnya. Seukuran telpon saja. Aku tahu itu bom. Aku menggenggam erat tangan Inaq. Kerutan di wajah Inaq tampak jelas setelah kehilangan itu. Aku mencoba sebisaku untuk terlihat tegar seperti beliau. Bathin kami lelah. Ada pesan tertulis, kami mendapat peringatan dari pihak Syahbandar Gilimanuk. Banyak wartawan disana-sini. Ratusan orang yang tidak jelas meramaikan pemandangan di luar sana.Teli…! Cicing…! Naskleng…! mati kau…! anak pembunuh…! ku bunuh kau…!” seribu sumpah serapah mereka memekakkan gendang telinga. Aku melihat kemarahan yang memuncak di wajah Bli Wayan dan kroninya. Bus memasuki kapal Ferry, ternyata mereka sudah disana. Tanpa debat. Tinjunya sukses dengan keras menghujam wajahku. Aku pusing sekali. Aku pasrah melihat tetes demi tetes darahku. Suasana bertambah gaduh. Inaq panik lalu sontak beristigfar dengan suara parau, Ia bershalawat berulang-ulang. Beberapa pengawal ikhwan mencoba melerai, tapi para holigan itu terlalu banyak. Aku beringsut mendekap Inaq, berteriak-teriak meminta perlindungan. Untung saja ada beberapa Polisi pelabuhan dan para pecalang3. Kalau tidak, aku tidak tahu. Aku menghawatirkan perempuan tua yang melahirkan aku ini saja.Baru di dalam bus Inaq bisa menyeka darahku. Aman sudah. Kami kembali beristirahat. Menuju Pelabuhan Padang Bay berikutnya. Aku tertidur di pangkuan Inaq. Bus melaju pelan, aku sempat memperhatikan peluh Inaq meresap di jilbab hijau tosca pemberian Bapak saat aku lulus Aliyah setahun lalu. Inaq tertidur. Pelan aku buka tabir bus mencari cahaya siang. Aku buka lipatan secarik kertas di dalam kantong celana bolongku. Aku membacanya perlahan. Parte bin Kalid YTH. Terune Gagahku. esatriaku. Kita memang belum sempat bertemu. Setahun ini. Bapak tersiksa karena jauh darimu, nak. Tapi, jangan sedih, jangan menangis. Kuatkan dirimu. Wasiat Bapak: Tegakkan syahadatmu, Islam sudah terlihat aneh kembali oleh dosa-dosa manusia. Kubur jasad pinjaman Bapak ini dengan layak…lanjutkan tugas kekhalifahan. Jalani perkara-perkara abadi: berilmu, beramal dan sebagai anak sholeh. Untuk Bapak.


Kuat aku membendung desiran air di dalam mataku agar tidak meleleh. Mataku mulai berkaca-kaca. Tiba-tiba telapak tangan kasar dan kukenal menyentuh pundakku. Aku tersadar dari bayang-bayang Bapak.


“Ate, sudahlah nak, jadikan sabar dan shalat sebagai penolongmu. Hidup di dunia ibarat kapal yang sekedar singgah di sebuah pulau untuk mencari bekal. Lalu akan berlayar kembali ke negeri yang kekal abadi. Akhirat.” Sabda Inaq dengan linangan kering air mata. Ia kembali menikmati tangisnya dengan mata terpejam.


Kapal Ferry merapat ke Pelabuhan Lembar. Bus kembali melaju. Aku membuka tirai, ada wajah-wajah asli yang aku kenal. Aku mengerti ikhwal keramaian di tanah lapang itu. Orang-orang Suku Sasak Lombok sedang menggelar tradisi adat keras mereka. Presean.


Islam sudah melembaga disini jauh sebelum Alfred Russel Wallace4 berpendapat hukum kami tidak berprikemanusiaan. Ada kesamaan dari jejeran tiga kepulauan; Bali, Lombok dan Sumbawa. Tradisi perang seperti itu; perang tandan, presean dan karaci. Pertarungan baku hantam dengan rotan dan perisai. Pertarungan ini bersifat permainan, atau semacam pembuktikan kekuatan dan keberanian. Latihan perang untuk areal laki-laki sejati.


Jogang’. Aku teringat kisah pemuda yang dianggap gila. Setahun lalu Ia bermain presean hingga tak kenal menyerah. Tidak peduli setangguh apapun pepadu yang dihadapinya. Dia malah ingin mengukir seratus luka di tubuhnya. Seratus kali cambukan, seratus tanda sudah.


....


baca selengkapnya di FLP kumcer "aku ingin melukis wajahmu" nantikan launchingnya 22 Maret 2009 di kampus UM. beli bukunya ya?




~tutuq ulet~

Label: edit post
0 Responses